Cut Nyak Dien, salah satu pahlawan wanita Indonesia yang dalam kisah kehidupannya tak jauh dari daerah Aceh dan Sumedang. Cut Nyak Dien merupakan putri asli Aceh Barat yang lahir pada tahun 1848. Pahlawan yang mendapatkan julukan Srikandi Indonesia ini adalah anak dari Teuku Nanta Setia, sedangkan ibunya adalah bangsawan dari Lampagar.
Salah satu peninggalan Cut Nyak Dien yang kini masih ada ialah rumah yang dulu pernah ia tempati yang kini sudah dijadikan sebagai musem Cut Nyak Dien, berlokasi di Desa Lampisang, Kabupaten Aceh Besar. Pada tahun 1893 saat terjadinya perang Aceh, rumah ini dibakar oleh pemerintah Belanda hingga menyisakan pondasinya saja. Pondasi inilah yang akhirnya diselamatkan oleh pemerintah Indonesia di tahun 1980 dan di bangunlah kembali rumah ini sesuai dengan bangunan aslinya. Rumah Cut Nyak Dien ini memiliki luas 25m x 17m, beratap daun rumbia dan terbuat dari kayu seperti kebanyakan rumah adat Aceh. Bangunan museum ini terdiri dari tiga bagian, yakni ruang tamu, ruang tuan rumah, serta ruang keluarga. Ada sepuluh ruang, empat kamar, dua serambi di bagian depan dan belakang. Ada juga sebuah sumur yang memang sudah ada sejak dahulu. Sumur ini beda dengan sumur yang ada pada umumnya karena di bangun 10 meter di atas tanah. Tujuannya untuk mencegah kemungkinan penjajah meracuni air yang ada dalam sumur. Taktik semacam ini memang biasa digunakan oleh penjajah di era tersebut.
Suami pertama Cut Nyak Dien, Teuku Cek Ibramhim Lamnga, tewas dalam medan perang. Olehkarena itu, Cut Nyak Dien sangat benci terhadap para penjajah dan terus bertekad untuk dapat mengusir para penjajah dari bumi Aceh dan Indonesia. Tiga tahun kemudian Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dan dikaruniai seorang putri, Cut Gambang. Mereka bertiga pun sama-sama bertekad hingga titik darah penghabisan, mengusir tentara penjajah dari bumi Aceh. Perang Aceh termasuk perang terlama dan tersulit dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Singkat cerita, Cut Nyak Dien ditangkap tentara Belanda pada tanggal 6 November 1905 atas laporan panglima perangnya Teuku Panglaor. Laporan Panglima Panglaor sebenarnya bukan untuk mengkhianatinya tetapi dia merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak Dien karena ia sudah tidak bisa melihat (buta). Panglima meminta Belanda untuk tidak menyiksanya atau pun diasingkan. Tetapi pada 11 Desember 1906 Cut Nyak Dien malah diasingkan ke Sumedang bersama panglima perangnya dan seorang anak laki – laki berumur 15 tahun bernama Teuku Nana. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Belanda J.B.V Heuts yang menerima Cut Nyak Dien. Dia langsung menyerahkan Cut Nyak Dien kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmadja (Pangeran Mekah) yang merupakan anak dari Pangeran Aria Kusumah Adinata (Pangeran Soegih).
Untuk perawatan Cut Nyak Dien, Pangeran Mekah menyerahkannya kepada seorang ulama Masjid Agung Sumedang yang sudah mendapat gelar Penghulu bernama K.H Sanusi. Tetapi K.H Sanusi hanya satu tahun merawat Cut Nyak Dien karena beliau meninggal tahun 1907. Perawatan Cut Nyak Dien pun dilanjutkan oleh anak K.H Sanusi bernama H. Husna, sampai Cut Nyak Dien wafat pada tanggal 6 Novemper 1908 dan dimakamkan di lokasi Makam Keluara H. Husna di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Jawa Barat. Sebelum tahun 1950, tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa Cut Nyak Dien dimakamkan di Gunung Puyuh, masyarakat hanya tahu bahwa makam tersebut adalah makam Ibu Perbu. Mereka baru mengetahuinya setelah H. Husna wafat pada tahun 1948 bahwa itu adalah makam Cut Nyak Dien.
Setelah penduduk mengetahui makam Cut Nyak Dien, pada tahun 1962, Rd. Oemar Sumantri, anak Siti Hodijah, memberikan izin untuk upacara sederhana mengenang jasa - jasa Cut Nyak Dien. Pada tahun 1972, makam Cut Nyak Dien direnovasi oleh Pemerintah Daerah Sumedang dan pada tahun 1987, bangunan tersebut direnovasi kembali oleh Bapak Bustanil Arifin, Menteri Bulog bersamaan dengan mendirikan Meunasah (mushola) yang diresmikan oleh Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan. Kini, makam Cut Nyak Dien sudah seperti makam yang dari sisi arsitektur tua tetapi memiliki unsur modern. Berbeda dengan makam - makam yang ada di sekitarnya, termasuk makam Pangeran Soegih --mantan Bupati Sumedang yang ke - 7-- yang jaraknya hanya beberapa meter dari makam Cut Nyak Dien.
Salah satu peninggalan Cut Nyak Dien yang kini masih ada ialah rumah yang dulu pernah ia tempati yang kini sudah dijadikan sebagai musem Cut Nyak Dien, berlokasi di Desa Lampisang, Kabupaten Aceh Besar. Pada tahun 1893 saat terjadinya perang Aceh, rumah ini dibakar oleh pemerintah Belanda hingga menyisakan pondasinya saja. Pondasi inilah yang akhirnya diselamatkan oleh pemerintah Indonesia di tahun 1980 dan di bangunlah kembali rumah ini sesuai dengan bangunan aslinya. Rumah Cut Nyak Dien ini memiliki luas 25m x 17m, beratap daun rumbia dan terbuat dari kayu seperti kebanyakan rumah adat Aceh. Bangunan museum ini terdiri dari tiga bagian, yakni ruang tamu, ruang tuan rumah, serta ruang keluarga. Ada sepuluh ruang, empat kamar, dua serambi di bagian depan dan belakang. Ada juga sebuah sumur yang memang sudah ada sejak dahulu. Sumur ini beda dengan sumur yang ada pada umumnya karena di bangun 10 meter di atas tanah. Tujuannya untuk mencegah kemungkinan penjajah meracuni air yang ada dalam sumur. Taktik semacam ini memang biasa digunakan oleh penjajah di era tersebut.
Suami pertama Cut Nyak Dien, Teuku Cek Ibramhim Lamnga, tewas dalam medan perang. Olehkarena itu, Cut Nyak Dien sangat benci terhadap para penjajah dan terus bertekad untuk dapat mengusir para penjajah dari bumi Aceh dan Indonesia. Tiga tahun kemudian Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dan dikaruniai seorang putri, Cut Gambang. Mereka bertiga pun sama-sama bertekad hingga titik darah penghabisan, mengusir tentara penjajah dari bumi Aceh. Perang Aceh termasuk perang terlama dan tersulit dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Singkat cerita, Cut Nyak Dien ditangkap tentara Belanda pada tanggal 6 November 1905 atas laporan panglima perangnya Teuku Panglaor. Laporan Panglima Panglaor sebenarnya bukan untuk mengkhianatinya tetapi dia merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak Dien karena ia sudah tidak bisa melihat (buta). Panglima meminta Belanda untuk tidak menyiksanya atau pun diasingkan. Tetapi pada 11 Desember 1906 Cut Nyak Dien malah diasingkan ke Sumedang bersama panglima perangnya dan seorang anak laki – laki berumur 15 tahun bernama Teuku Nana. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Belanda J.B.V Heuts yang menerima Cut Nyak Dien. Dia langsung menyerahkan Cut Nyak Dien kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmadja (Pangeran Mekah) yang merupakan anak dari Pangeran Aria Kusumah Adinata (Pangeran Soegih).
Untuk perawatan Cut Nyak Dien, Pangeran Mekah menyerahkannya kepada seorang ulama Masjid Agung Sumedang yang sudah mendapat gelar Penghulu bernama K.H Sanusi. Tetapi K.H Sanusi hanya satu tahun merawat Cut Nyak Dien karena beliau meninggal tahun 1907. Perawatan Cut Nyak Dien pun dilanjutkan oleh anak K.H Sanusi bernama H. Husna, sampai Cut Nyak Dien wafat pada tanggal 6 Novemper 1908 dan dimakamkan di lokasi Makam Keluara H. Husna di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Jawa Barat. Sebelum tahun 1950, tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa Cut Nyak Dien dimakamkan di Gunung Puyuh, masyarakat hanya tahu bahwa makam tersebut adalah makam Ibu Perbu. Mereka baru mengetahuinya setelah H. Husna wafat pada tahun 1948 bahwa itu adalah makam Cut Nyak Dien.
Setelah penduduk mengetahui makam Cut Nyak Dien, pada tahun 1962, Rd. Oemar Sumantri, anak Siti Hodijah, memberikan izin untuk upacara sederhana mengenang jasa - jasa Cut Nyak Dien. Pada tahun 1972, makam Cut Nyak Dien direnovasi oleh Pemerintah Daerah Sumedang dan pada tahun 1987, bangunan tersebut direnovasi kembali oleh Bapak Bustanil Arifin, Menteri Bulog bersamaan dengan mendirikan Meunasah (mushola) yang diresmikan oleh Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan. Kini, makam Cut Nyak Dien sudah seperti makam yang dari sisi arsitektur tua tetapi memiliki unsur modern. Berbeda dengan makam - makam yang ada di sekitarnya, termasuk makam Pangeran Soegih --mantan Bupati Sumedang yang ke - 7-- yang jaraknya hanya beberapa meter dari makam Cut Nyak Dien.
------------------------------------------------------------------------------
referensi:
news.okezone.com/read/2014/06/03/528/993126/kisah-mesin-jahit-goyang-di-kediaman-cut-nyak-dien
momtraveler.com/banda-aceh-heritage-track-museum-cut-nyak-dien.html
news.okezone.com/read/2014/06/03/528/993126/kisah-mesin-jahit-goyang-di-kediaman-cut-nyak-dien
momtraveler.com/banda-aceh-heritage-track-museum-cut-nyak-dien.html
Tulisan ini adalah salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
0 komentarator :
Post a Comment